25.3.13

Cerita Orang Gila II


Sudah lama tak mendengar kabar dari Yayasan Kerisnangtung tiba-tiba saja seorang dengan nomor tak dikenal menghubungi lewat telfon kemarin malam, suaranya tak asing ditelinga, cepat saja saya tanggap bahwa ia adalah kang Rusli teman lama dari Tasikmalaya. Kang Rusli adalah salah satu pengurus di yayasan tersebut. Kang rusli sering bercanda dengan khas banyolan-banyolannya meniru gaya bicara orang “sakit”,  itu mengingatkan  nostalgiaku dengan keluarga di yayasan tersebut.

Banyak cerita menarik ketika saya singgah di yayasan Kerisnangtung setahun yang lalu. Kerisnangtung adalah sebuah yayasan tempat dimana orang-orang yang “tak-beruntung“  pasien penyandang gangguan jiwa di urus dan dirawat, berbeda dari Rumah Sakit Jiwa biasa milik Instansi negara ataupun swasta,  fasilitas yang dimiliki disana hanya sekedar ala kadarnnya, yayasan itu hanya bermodalkan SAJUTA (Sabar,Jujur,Tawaqal) begitu yang diungkapkan Pak Dadang salah satu pendiri yayasan, yang sampai saat ini yayasan tersebut masih tetap ada berdiri di komplek ruko bekas terminal cilembang Tasikmalaya  dengan kondisinya sangat memprihatinkan. 

Dilahan yang tertutup aspal tak ada yang dapat dilakukan pasien kecuali bermain setelah mandi dan makan  setiap pagi, kira-kira terdapat Sembilan puluh lebih pasien saat itu ada di yayasan tersebut, sedangkan pengurus atau relawan hanya ada delapan orang, bisa dibayangkanlah bagaimana repotnya mengurus orang sebanyak itu apalagi kondisi mereka yang sulit untuk “diatur”. Saya tidak mempermasalahkan kualitas dari pengobatan proses penyembuhan  dari nasib oraang-orang tersebut, sembuh atau tidak, benar atau salah para pengurus tersebut bertindak, namun yang jelas hal yang sangat mulia mereka lakukan adalah bersedia peduli terhadap gelandangan penderita psikotik yang notabene sebagian orang mencapnya sebagai sampah masyarakat di susut-sudut kota.

Teringat motif observasi yang pernah hendak dilakukan, niat saya ingin mengabadikan momen yayasan tersebut dalam bentuk dokumenter, namun sayangnya materi video yang sempat direkam selama dua bulan itu hilang di dalam laptop di gondol maling tiga bulan yang lalu. Hal yang amat disayangkan sebuah dokumen berharga momen penting yang jarang-jarang bisa saya merekamnya. Hal itu juga yang ditanyakan oleh kang Rusli pada saat obrolan larut malam itu, saya juga menyimpan janji ingin menunjukan hasil video tersebut pada kang Rusli.

Adapun momen-monen penting yang saya ingat dikepala adalah kepulangan Suryati, pasien yang meminta untuk dipertemukan lagi dengan orangtuanya. Kondisi kesadaran Suryati pada saat itu memang sudah “agak membaik” berbeda pada saat ditemukan oleh pengurus di tempat sampah dengan busana compang camping telanjang setengah dada.

Malam itu kami berangkat ber empat, Pak Dadang, Mas Rudi, Suryati dan saya menggunakan kereta api ke blitar Jawa Timur tempat dulu dimana Surayati tinggal bersama Orangtuanya. Sebenarnya alamat  lengkap belum diketahui oleh pak Dadang dan mas Rudi, mereka hanya mengandalkan  sisa ingatan Suryati, sebuah pernyataan  yang keluar dari mulut Suryati yaitu nama kedua orang tuanya nama KADES didesa daerah blitar, beruntung  mas Rudi pernah tinggal di blitar tahun-tahun lampau, maka sedikit taulah arah jalan awal kemana kita mulai mencari, pikirku seperti mencari jarum diatas jerami, mungkin disitulah letak petualangannya perjalanan kami waktu itu.

Sedikit cerita siapa itu mas Rudi, ia dulunya seorang pengamen di stasiun kereta, dia juga pernah singgah di blitar, pemuda kelahiran asal Temanggung itu seolah prustasi dengan hidup, nasib yang tak kuncung berubah dan bergelut dengan hidup yang keras mas Rudi teracuni oleh pikiran sendiri untuk melakukan “Puasa Gendeng”, katanyasih solusi mendapat kekayaan dengan singkat dengan cara berpenampilan dan bersikap  ala gelandangan psikotik. Perjalanannya membawa takdir bertemu keluaraga barunya di yayasan. Ketika pak Dadang sedang oprasi  mengambil gelandanga-gelandangan psikotik dari jalan, disitulah mas rudi  ikut terciduk, dan pada akhirnya mas Rudi sekarang tinggal di yayasan dan menjadi relawan serta ikut mengurusi pasien di Kerisnangtung, begitu tutur pengakuan mas Rudi bercerita panjang semalam suntuk saat kami dikereta.
Perjalanan dipagi itu memang cukup melelahkan, sesampainnya di stasiun blitar kira-kira pukul 6 pagi kita istirahat sejenak sebelum  melanjutkan perjalanan mencari dimana rumah orang tua Suryati berada. Dari kampung-kampung, desa ke-desa, serta pasar tempat ibu Suryati yang di ceritakannya pernah berjualan di tempat itu kita singgahi, namun tetap saja tak ada informasi lebih tentang petunjuk dimana posisi tepat kelurganya berada. Dari raut wajah pak Dadang saya sempat melihat keputus asaan untuk membawa kembali membawa pulang Suryati ke Tasikmalaya, memaksa bertanya kepada Suryati malah membuatnya semakin bingung apalagi ia jarang sekali membuka mulutnnya sekedar mengorek-ngorek keterangan  dari sisa ingatan kenangan Suryati di kota  Patria itu.

simbok/a Heri/mas Rudi/bu Dadang/kangRusli/Suryati/pak Opik
Matahari sudah diatas kepala, kemudian kami hendak memutuskan untuk kembali pulang saja,  namun untuk menghabisi rasa kepenasaran, pak Dadang memutuskan untuk mendatangi kantor desa yang tutup ketika pagi-pagi awal kami menginjak di daerah Blitar.  Akhirnnya dari sana informasi mulai terbuka, sambung-menyambung info dari para pegawai desa  bahwa memang ada salah salah satu kelauarga yang kehilangan anak gadisnya tiga belas tahun yang lalu,  terang saja kami sulit mengorek informasi, bahwa kepergian Suryati dari sana sudah lama sekali, bahkan nama KADES yang di ingat Suryati tersebut sudah meninggal dan masa kepengurusan jabatan  di desa itu sudah ganti priode yang ketigakalinya.

Tibalah kami di sebuah rumah sederhana dibawah kaki gunung kelud berada, seorang ibu tua sedang duduk di halaman teras. “Kejadian ini seperti acara reality show di televisi, tapi memang benar ini terjadi dan saya mengalami serta menyaksikannya”. Ibu Suryati sempat tidak mengenali anaknnya sendiri sebelum kerudung merah Suryati dilepaskan dan pak Dadang bercerita mengenai Suryati. Serontak ibu itu merangkul dan menangis tak kuasa menahan rindu pada anaknya yang hilang selama tigabelas tahun lamanya. Semua orang yang ada disana ikut terhanyut terharu menyaksikan kebahagiaan kepulangan Suryati, tak saya pungkiri sayapun meneteskan air mata kala mereka bisa berjumpa.  Kini Suryati telah kembali, Gadis muda berumur 19 tahun yang pergi dari rumah dengan beban fikiran yang ditimpanya akibat gagal menikah membuat tergoncang kondisi jiwanya.

Perjalanan hidup tidak seorangpun tahu akan seperti apa, takdir tuhan telah tersurat, kita hanya mengetahui ketika itu sudah benar-benar terjadi dan dialami dan saya senang bisa mengenal dan  menjadi bagian dari kelurga itu. “Semoga saja kembalinya Suryati ke keluarganya akan jauh lebih baik”  









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Kurikulum Perlu Berubah ?

  Oleh Eka Jati Ashari Dalam dunia pendidikan adanya kurikulum sangatlah penting. Arah dan tujuan pendidikan diatur di dalam kurikulum sehin...