Sudah lama tak mendengar kabar dari
Yayasan Kerisnangtung tiba-tiba saja seorang dengan nomor tak dikenal
menghubungi lewat telfon kemarin malam, suaranya tak asing ditelinga, cepat saja
saya tanggap bahwa ia adalah kang Rusli teman lama dari Tasikmalaya. Kang Rusli
adalah salah satu pengurus di yayasan tersebut. Kang rusli sering bercanda
dengan khas banyolan-banyolannya meniru gaya bicara orang “sakit”, itu mengingatkan nostalgiaku dengan keluarga di yayasan
tersebut.
Banyak cerita menarik ketika saya
singgah di yayasan Kerisnangtung setahun yang lalu. Kerisnangtung adalah sebuah
yayasan tempat dimana orang-orang yang “tak-beruntung“ pasien penyandang gangguan jiwa di urus dan
dirawat, berbeda dari Rumah Sakit Jiwa biasa milik Instansi negara ataupun
swasta, fasilitas yang dimiliki disana
hanya sekedar ala kadarnnya, yayasan itu hanya bermodalkan SAJUTA (Sabar,Jujur,Tawaqal)
begitu yang diungkapkan Pak Dadang salah satu pendiri yayasan, yang sampai saat
ini yayasan tersebut masih tetap ada berdiri di komplek ruko bekas terminal
cilembang Tasikmalaya dengan kondisinya
sangat memprihatinkan.
Dilahan yang tertutup aspal tak ada yang dapat dilakukan
pasien kecuali bermain setelah mandi dan makan
setiap pagi, kira-kira terdapat Sembilan puluh lebih pasien saat itu ada
di yayasan tersebut, sedangkan pengurus atau relawan hanya ada delapan orang,
bisa dibayangkanlah bagaimana repotnya mengurus orang sebanyak itu apalagi
kondisi mereka yang sulit untuk “diatur”. Saya tidak mempermasalahkan kualitas
dari pengobatan proses penyembuhan dari nasib
oraang-orang tersebut, sembuh atau tidak, benar atau salah para pengurus
tersebut bertindak, namun yang jelas hal yang sangat mulia mereka lakukan adalah
bersedia peduli terhadap gelandangan penderita psikotik yang notabene sebagian
orang mencapnya sebagai sampah masyarakat di susut-sudut kota.
Teringat motif observasi yang
pernah hendak dilakukan, niat saya ingin mengabadikan momen yayasan tersebut
dalam bentuk dokumenter, namun sayangnya materi video yang sempat direkam
selama dua bulan itu hilang di dalam laptop di gondol maling tiga bulan yang
lalu. Hal yang amat disayangkan sebuah dokumen berharga momen penting yang jarang-jarang
bisa saya merekamnya. Hal itu juga yang ditanyakan oleh kang Rusli pada saat
obrolan larut malam itu, saya juga menyimpan janji ingin menunjukan hasil video
tersebut pada kang Rusli.
Adapun momen-monen penting yang
saya ingat dikepala adalah kepulangan Suryati, pasien yang meminta untuk dipertemukan
lagi dengan orangtuanya. Kondisi kesadaran Suryati pada saat itu memang sudah
“agak membaik” berbeda pada saat ditemukan oleh pengurus di tempat sampah
dengan busana compang camping telanjang setengah dada.
Malam itu kami berangkat ber
empat, Pak Dadang, Mas Rudi, Suryati dan saya menggunakan kereta api ke blitar
Jawa Timur tempat dulu dimana Surayati tinggal bersama Orangtuanya. Sebenarnya
alamat lengkap belum diketahui oleh pak
Dadang dan mas Rudi, mereka hanya mengandalkan
sisa ingatan Suryati, sebuah pernyataan yang keluar dari mulut Suryati yaitu nama
kedua orang tuanya nama KADES didesa daerah blitar, beruntung mas Rudi pernah tinggal di blitar tahun-tahun
lampau, maka sedikit taulah arah jalan awal kemana kita mulai mencari, pikirku
seperti mencari jarum diatas jerami, mungkin disitulah letak petualangannya
perjalanan kami waktu itu.
Sedikit cerita siapa itu mas Rudi,
ia dulunya seorang pengamen di stasiun kereta, dia juga pernah singgah di
blitar, pemuda kelahiran asal Temanggung itu seolah prustasi dengan hidup,
nasib yang tak kuncung berubah dan bergelut dengan hidup yang keras mas Rudi
teracuni oleh pikiran sendiri untuk melakukan “Puasa Gendeng”, katanyasih
solusi mendapat kekayaan dengan singkat dengan cara berpenampilan dan bersikap ala gelandangan psikotik. Perjalanannya
membawa takdir bertemu keluaraga barunya di yayasan. Ketika pak Dadang sedang
oprasi mengambil gelandanga-gelandangan
psikotik dari jalan, disitulah mas rudi
ikut terciduk, dan pada akhirnya mas Rudi sekarang tinggal di yayasan
dan menjadi relawan serta ikut mengurusi pasien di Kerisnangtung, begitu tutur
pengakuan mas Rudi bercerita panjang semalam suntuk saat kami dikereta.
Perjalanan dipagi itu memang
cukup melelahkan, sesampainnya di stasiun blitar kira-kira pukul 6 pagi kita
istirahat sejenak sebelum melanjutkan
perjalanan mencari dimana rumah orang tua Suryati berada. Dari kampung-kampung,
desa ke-desa, serta pasar tempat ibu Suryati yang di ceritakannya pernah
berjualan di tempat itu kita singgahi, namun tetap saja tak ada informasi lebih
tentang petunjuk dimana posisi tepat kelurganya berada. Dari raut wajah pak
Dadang saya sempat melihat keputus asaan untuk membawa kembali membawa pulang
Suryati ke Tasikmalaya, memaksa bertanya kepada Suryati malah membuatnya
semakin bingung apalagi ia jarang sekali membuka mulutnnya sekedar
mengorek-ngorek keterangan dari sisa
ingatan kenangan Suryati di kota Patria
itu.
simbok/a Heri/mas Rudi/bu Dadang/kangRusli/Suryati/pak Opik |
Matahari sudah diatas kepala, kemudian
kami hendak memutuskan untuk kembali pulang saja, namun untuk menghabisi rasa kepenasaran, pak Dadang
memutuskan untuk mendatangi kantor desa yang tutup ketika pagi-pagi awal kami
menginjak di daerah Blitar. Akhirnnya dari
sana informasi mulai terbuka, sambung-menyambung info dari para pegawai desa bahwa memang ada salah salah satu kelauarga
yang kehilangan anak gadisnya tiga belas tahun yang lalu, terang saja kami sulit mengorek informasi,
bahwa kepergian Suryati dari sana sudah lama sekali, bahkan nama KADES yang di
ingat Suryati tersebut sudah meninggal dan masa kepengurusan jabatan di desa itu sudah ganti priode yang
ketigakalinya.
Tibalah kami di sebuah rumah
sederhana dibawah kaki gunung kelud berada, seorang ibu tua sedang duduk di
halaman teras. “Kejadian ini seperti acara reality show di televisi, tapi
memang benar ini terjadi dan saya mengalami serta menyaksikannya”. Ibu Suryati sempat
tidak mengenali anaknnya sendiri sebelum kerudung merah Suryati dilepaskan dan
pak Dadang bercerita mengenai Suryati. Serontak ibu itu merangkul dan menangis
tak kuasa menahan rindu pada anaknya yang hilang selama tigabelas tahun lamanya.
Semua orang yang ada disana ikut terhanyut terharu menyaksikan kebahagiaan
kepulangan Suryati, tak saya pungkiri sayapun meneteskan air mata kala mereka bisa
berjumpa. Kini Suryati telah kembali,
Gadis muda berumur 19 tahun yang pergi dari rumah dengan beban fikiran yang
ditimpanya akibat gagal menikah membuat tergoncang kondisi jiwanya.
Perjalanan hidup tidak seorangpun
tahu akan seperti apa, takdir tuhan telah tersurat, kita hanya mengetahui
ketika itu sudah benar-benar terjadi dan dialami dan saya senang bisa mengenal
dan menjadi bagian dari kelurga itu. “Semoga
saja kembalinya Suryati ke keluarganya akan jauh lebih baik”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar