BANGJO, begitulah orang di jawa
menyebutnya, tempat dimana orang bisa saling berbagi kesempatan untuk bertoleransi
pada aturan yang sama. Abang (merah) saat dimana harus menunggu angka yang
terhitung mundur untuk berhenti, sedangkan Ijo (hijau) ketika harus kembali
bergerak maju.
Lalu.... Kuning ?
Kuning bagi saya punya ekspektasi
yang tersendiri untuk bisa dimengerti dimana ruang diam di ruas jalan tersebut bisa kembali bralih pada tempat dan fungsi
yang selayaknya.
Jika melihat situasi realitas
yang terjadi di tempat tersebut, terkadang membuat kita prihatin bahkan mencibir.
Bagi sebagian orang tempat itu dipakai untuk mencari penghidupan yang lebih
baik. Bermacam karakter orang dalam mencari nafkah di perempatan lalu lintas,
mulai dari peminta-minta yang sudah tua renta, hingga anak balita yang belum
cukup usia, pengamen jalanan, penjual asongan, sampai jasa bersih bersih
kendaraan bermotor. Terik matahari di siang hari tidak menjadi kendala begitu pula
saat dinginnya hari di malam gelap. Aktivitas para pencari nafkah di perempatan
lampu lalu lintas seakan tidak pernah lelah mengadahkan telapak tangan dengan
memasang raut wajah memelas berharap para pengendara yang berhenti merasa iba
dan memberi receh dari saku mereka.
Meski ada yang setengah ikhlas, terpaksa, tetapi ada yang tidak masalah
mengeluarkan ratusan bahkan ribuan dari saku pengendara.
Hal ini sebenarnya sangat
bertolak belakang dengan realitas kehidupan yang dihadapi. Disatu sisi kita
bisa melihat tidak ada rasa malu, canggung dan putus asa tetapi si sisi lain sangat
berarti bagi para pengais rejeki jalanan yang mampu menghidupi keluarga. Mengumpulkan
receh demi receh dan dalam satu hari dapat menghasilkan uang yang cukup besar
jumlahnya, mungkin tidak sebanding upah buruh yang bekerja secara terstruktur dengan
hasil yang tidak seberapa. Meskipun tidak bisa di prediksi dengan pasti namun
keuntungan yang di dapat jauh lebih besar dari yang di perkirakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar